TUO6BUOpGUd9BUYpGSroBSGiGY==
Light Dark
Galungan Dalam Peradaban Digital, Mengembalikan Kemenangan Dharma di Dalam Diri.

Galungan Dalam Peradaban Digital, Mengembalikan Kemenangan Dharma di Dalam Diri.

Daftar Isi
×

 

Luh Irma Susanthi,S.Sos.,M.Pd

Oleh, Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd

Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kemenag Buleleng


SINGARAJA FM,-Hari Suci Galungan selalu menjadi salah satu momentum paling sakral dalam kehidupan umat Hindu, hari raya yang jatuh setiap 210 hari penuh spirit tersendiri bagi umat Hindu diseluruh Nusantara, ditengah derasnya arus digitalisasi dan ritme hidup yang kian cepat, Galungan hadir bukan hanya sebagai perayaan ritual, melainkan sebagai perjalanan batin untuk meneguhkan bahwa Dharma atau nilai kebenaran, keteraturan kosmis, dan cahaya kesadaran tetap menang dalam diri manusia.

Secara filosofis, Galungan adalah pengejawantahan ajaran Dharma, nilai kemenangan Dharma atas Adharma. Nilai ini ditegaskan dalam banyak sastra Hindu, termasuk Bhagavadgita, Sarasamuscaya, dan Tattwa Nusantara yang mengajarkan pentingnya menguasai diri ketika dunia luar semakin menantang.

Bhagavadgita V.22, Sri Krsna menegaskan,

 

ye hi saḿsparśa-jā bhogā

duḥkha-yonaya eva te

ādy-anta-vantaḥ kaunteya

na teṣu ramate budhaḥ

Artinya,

“Kenikmatan yang lahir dari dunia indria sesungguhnya adalah sumber derita.”

Sloka ini mengingatkan bahwa kemenangan sejati tidak ditentukan oleh pencapaian materi atau kesibukan duniawi, tetapi oleh kemampuan menguasai keinginan, amarah, kecemasan, dan godaan luar.

 

Begitu pula dalam Sarasamuscaya 25 disebutkan,

“Dharma adalah satu-satunya yang membuat hidup manusia menjadi utama.”

Inilah dasar utama Galungan, kemenangan bukan sesuatu yang terjadi di luar diri, tetapi kemenangan nilai Dharma di dalam batin manusia.

Fenomena diera digital, adharma tidak selalu muncul sebagai kejahatan besar. Ia hadir dalam bentuk-bentuk halus yang sering tidak kita sadari, kecanduan layar, iri hati karena perbandingan hidup di media sosial, kemarahan pada komentar orang,

ketakutan kehilangan perhatian, penurunan kualitas sembahyang karena fokus terpecah,

dan ritual yang menjadi sekadar formalitas.

Fenomena menjelang Galungan pun menjadi cermin, Penjor dibuat lebih untuk foto, bukanpenghormatan.Persembahyangan dilakukan sambil tetap mengecek pesan pekerjaan. Banten dibeli bukan karena efisiensi, melainkan karena waktu tersita untuk dunia digital.

Media sosial menjadi ajang “pamer kegiatan suci”.Hingga anak - anak muda mulai enggan untuk belajar seputar teknik penyiapan sarana banten dengan adanya realita sistem jual beli, dalam bayangan sastra Hindu, ini adalah bentuk kala modern, kekuatan yang menarik manusia menjauh dari pusat kesadarannya.

Bhagavadgita III.39, Krsna memberikan nilai kesadaran yang sangat sederhana,

āvṛtaḿ jñānam etena

jñānino nitya-vairiṇā

kāma-rūpeṇa kaunteya

duṣpūreṇānalena ca.

Artinya

,“Keinginan yang tak terpuaskan itu menutupi pengetahuan sejati dan menjadi musuh abadi manusia.”

 Kehidupan diera digital, keinginan itu telah berubah rupa menjadi notifikasi, scrolling tanpa tujuan, dan pencarian validasi.

Galungan hadir untuk membersihkan itu.

 Galungan hadir sebagai Momentum “Melampaui Dunia yang penuh Maya.

Pengetahuan ajaran Tattwa Jnana, kehidupan digambarkan sebagai maya yakni ilusi yang mengikat kesadaran manusia. Dunia digital mempertebal lapisan maya itu, avatar, citra diri, filter kecantikan, gaya hidup yang dibuat-buat, dan konsumsi informasi yang tidak terkendali.

Evoria Hari Suci Galungan mengajak umat untuk “menembus maya” dan kembali pada svarupa, jati diri terdalam.

Seperti dalam Bhagavadgita VI.5,

“Bangkitkanlah dirimu dengan kekuatan dirimu sendiri.”

Inilah inti perayaan hari suci Galungan,

kemenangan bukan sesuatu yang diberikan, tetapi sesuatu yang dibangkitkan dari dalam diri. Ritual boleh modern, tetapi kesadaran harus tetap luhur.

Upacara bisa disesuaikan dengan zaman, tetapi nilai tidak boleh diperkecil.

Menjelang Galungan, umat melakukan tahapan dari penyucian dalam vibrasi Sugihan manik Jawa dan Bali, penyekeban, penyajaan, penambahan, persiapan Banten, menata  penjor, malukat, mebakti, dan yang terpenting adalah penyucian Tri Sarira, untuk bakti pada ritme kehidupan, hingga puncak hari kemenangan yakni perayaan hari suci Galungan dan Manis Galungan hingga Kuningan. Semua ini bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan proses nyomya, menjinakkan energi negatif dalam diri.

Namun dalam realitas digital, banyak umat terjebak “melaksanakan” bukan “menghayati”.

Untuk itu, sastra mengajarkan pentingnya menghadirkan keheningan. Dalam Sarasamuscaya 478:

“Dalam keheninganlah Dharma tumbuh.”

Keheningan inilah yang sering hilang akibat keramaian digital.

Padahal Galungan justru mengajak kita untuk menemukan hening bahkan jika dunia luar penuh hiruk pikuk.

Mengembalikan Kemenangan Dharma di dalam diri.

Bagaimana memenangkan Dharma ketika dunia semakin bising? Inilah tahapan sederhana penuh makna dalam proses kesadaran Sang diri,

a. Hening sebelum memulai ritual yg tak

Sempatkan 3 menit menutup mata, mengatur napas.

Kesucian tidak datang dari gaduhnya persiapan, melainkan dari kejernihan batin.

b. Detoks digital menjelang dan saat Galungan nonaktifkan notifikasi saat membuat banten, memasang penjor, atau persembahyangan.

Menghadirkan diri sepenuhnya adalah inti kemenangan.

c. Menggunakan media sosial sebagai ruang Dharma.

Daripada pamer, jadikan momen Galungan sebagai inspirasi, mengajar, berbagi nilai, memberikan pemahaman tentang Dharma.

d. Melatih “lip service spiritual”

Kitab Bhagawad Gita XVII.16 disebutkan tapa batin yang utama adalah simplicity, silence, self-control.

Inilah nilai yang perlu dihidupkan.

Perayaan Hari suci Galungan adalah  kemenangan yang terjadi setiap kali kita mengalahkan ego dalam diri sendiri.

Jika dalam mitologi Galungan adalah kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa, maka dalam kehidupan modern Galungan adalah kemenangan, atas amarah yang ditahan,

atas kesabaran yang dipilih, atas kecanduan digital yang dikendalikan,

atas cinta yang didahulukan daripada ego,

atas doa yang lebih khusyuk daripada notifikasi, atas kesadaran yang bangun ketika dunia penuh dengan kesibukan.

Itulah hakekat  Galungan yang sejati, bukan kemenangan di luar, tetapi kemenangan batin di dalam. Sebagaimana ditegaskan dalam Sarasamuscaya 2,

Mānuṣaḥ sarva-bhūteṣu

varttate vai śubhāśubhe

aśubheṣu samaviṣṭam

śubhesvevāvakārayet.

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang śubhāśubha-karma, kunang panantasakana ring śubhakarma juga ikang aśubha-karma phalaning dadi wwang.

Diantara seluruh makhluk hidup, hanya yang terlahirkan menjadi manusia sajalah yang mampu melakukan perbuatan baik atau perbuatan tidak baik. Demi terleburkan seluruh perbuatan yang tidak baik ke dalam perbuatan baiklah yang bertujuan untuk dijadikan manusia.

“Mereka yang memelihara Dharma, sesungguhnya ia sedang memelihara dunia.”

Kehidupan di era digital, Dharma tetaplah menjadi kompas kehidupan.

Digitalisasi adalah bagian dari zaman, tidak perlu ditolak, yang perlu dijaga adalah kendali atas diri agar teknologi tetap menjadi alat, bukan penguasa batin. Hari suci Galungan mengingatkan umat bahwa kemenangan akan Dharma bukanlah peristiwa ritual, tetapi transformasi kesadaran yang hakiki, ketika manusia mampu, hadir penuh, jujur pada dirinya, menguasai indria,

dan tetap berjalan di jalan yang benar, maka saat itulah refleksi  Galungan benar-benar terjadi, dan kemenangan itu tetap relevan, sekalipun dunia berubah menjadi serba digital. Galungan adalah napas yang menyambungkan manusia dengan leluhur, tradisi dengan masa depan, serta dharma dengan teknologi zaman.”

 “Peradaban adi luhung bertahan ketika umatnya tidak hanya menjalankan upacara, tetapi menjalani ajarannya.”

 “Hari ini kita berperang bukan di medan Kuruksetra, tetapi di medan diri dan Galungan memberi keberanian untuk menang dengan cahaya. Selama umat Hindu menjaga dharma, dharma pula yang akan menjaga peradaban kita. Muliakanlah kelahiran yang sangat utama dalam setiap proses kemenangan akan nilai Dharma itu sendiri.


0Komentar

sn
sn
Special Ads