TUO6BUOpGUd9BUYpGSroBSGiGY==
Light Dark
Pisang di Tengah Banten: Mengikat Makna, Menyatukan Bhakti, Menelusuri Spiritualitas Pisang dalam Ritus Hindu Bali

Pisang di Tengah Banten: Mengikat Makna, Menyatukan Bhakti, Menelusuri Spiritualitas Pisang dalam Ritus Hindu Bali

Daftar Isi
×

SINGARAJA FM,-Banten dalam tradisi Hindu Bali bukan sekadar sajian indah yang ditata di atas dulang. Ia adalah lambang dari doa yang terwujud dalam wujud nyata, berisi unsur alam, simbol persembahan, dan rasa tulus bhakti. Di antara ragam buah dan elemen yang disusun dalam banten, ada satu buah yang nyaris tak pernah absen: pisang.

Pertanyaannya: Mengapa pisang selalu ada dalam setiap banten, dan bahkan dianggap wajib?, Apa makna terdalam dari keberadaan pisang yang kadang dianggap sepele ini?

1.         Pisang: Simbol Kesatuan dalam Keragaman

Banten adalah miniatur dari Bhuwana Agung alam semesta dalam skala kecil. Setiap unsur dalam banten menggambarkan elemen kehidupan: tanah, air, api, udara, dan eter (Panca Mahabhuta). Dalam susunan buah-buahan, keberadaan pisang menjadi pengikat. Mengapa?

Bentuk pisang yang memanjang dan padat, menjadi penopang buah lainnya. Warnanya yang kuning keemasan atau hijau, mencerminkan kesegaran dan kematangan hidup. Pisang bisa hadir dalam berbagai jenis banten: pejati, gebogan, ajuman, prayascitta, hingga banten panca yadnya.

 Lontar Dewa Tattwa menyebutkan:

 "Sang biu nglambangin urip sane ngubengin dharma, sane ngawit ring nglaksanayang bhakti lan rasa rahayu."

"Pisang melambangkan kehidupan yang mengitari dharma, menjadi awal dalam pelaksanaan bhakti dan keselamatan."

2.         Makna Simbolik Pisang: Antara Dunia Nyata dan Niskala

Dalam susunan banten, pisang seringkali diletakkan di antara buah-buahan lain, atau bahkan menjadi inti (paksi) dari susunan tersebut. Filosofinya:

Pisang = pengikat rasa dan getaran energi dari seluruh buah yang dipersembahkan. Tanpa pisang, banten dianggap tidak sempurna, karena belum ada unsur ajeg (peneguh). Dalam ajaran Tattwa, pisang juga menyimbolkan Dewa Wisnu, pemelihara alam, dan inti dari harmoni semesta.

 

Sloka Bhagavad Gita III.15

"Karma brahmodbhavam viddhi, brahmākṣarasamudbhavam"

“Tasmat sarva gatam, Brahma nityam yajne pratisthitam.”

Segala tindakan berasal dari Brahman, dan Brahman berasal dari yang abadi.

Banten adalah tindakan (karma), dan pisang menjadi simbol brahma tattwa pemelihara dalam struktur karma itu.

3.         Pisang dalam Tradisi dan Lontar Bali

Bali memiliki banyak lontar yang membahas tentang struktur banten, salah satunya Lontar Sundarigama. Di dalamnya dijelaskan bahwa setiap penyusunan banten memiliki nilai:

“Banten sane tan wenten biu, tan madaging rahayu, tan sampun ayuning pangatur.”

"Banten yang tanpa pisang, tidak mengandung vibrasi rahayu, dan belum sempurna susunannya."

Dalam Lontar Bhagawan Garga, disebut pula:

“Biu makasami rasa, nyarengin sang buah, ring tengah i tan wicara. Banten tan mawi biu, tan saking kawisesan.”

“Pisang memuat semua rasa, menemani buah lainnya, di tengah ia tak banyak bicara. Banten tanpa pisang, tiada keistimewaan.”

Dengan kata lain, pisang adalah simbol kerendahan hati dan kematangan batin. Ia tidak mencolok, namun menjadi pusat energi dan penyeimbang.

4.         Filosofi Kehidupan: Mengapa Pisang Menjadi Lambang Bhakti

Pisang bukan hanya simbol dalam banten. Ia juga mencerminkan jalan hidup spiritual seorang bhakta. Ia tumbuh tanpa berduri, memberi banyak manfaat. Setelah berbuah, pohon pisang mati seperti yadnya: memberi, lalu melepas. Daunnya dipakai untuk pembungkus makanan suci. Buahnya bisa dimakan oleh semua kalangan tidak diskriminatif. Artinya, pisang adalah simbol pengorbanan dan pemberian tanpa pamrih, sesuai dengan konsep yadnya sejati.

Sloka Bhagavad Gita 17.11:

“aphalākāṅkṣhibhir yajño vidhi-driṣhṭo ya ijyate”

“yaṣhṭavyam eveti manaḥ samādhāya sa sāttvika”

Pisang adalah buah sattvika: sederhana, bergizi, penuh makna, dan mudah diterima semua kalangan.

 

 

5.         Pisang sebagai Penjaga Taksu Upakara

Dalam banyak gebogan banten, pisang tidak hanya ditaruh sembarangan, tetapi ditempatkan di tengah atau dasar. Ia menjadi taksu dari susunan tersebut. Jika pisang tidak ada:

1)         Getaran buah lainnya menjadi kurang seimbang.

2)         Energi yang ditata melalui buah tidak memiliki pusat gravitasi spiritual.

3)         Banten menjadi lempas taksu (kehilangan roh). Dalam konsep Hindu Bali, taksu tidak muncul karena bentuk, tapi karena kesadaran dan penyatuan simbol. Pisang adalah simbol penyatu itu.

6.         Pisang dan Panca Mahabhuta: Lambang Keseimbangan Alam

Setiap elemen banten berkaitan dengan Panca Mahabhuta:

1)         Buah-buahan = Prthivi (tanah)

2)         Air kelapa/daun = Apas (air)

3)         Api (dari dupa) = Teja

4)         Udara dalam getaran mantra = Vayu

5)         Ruang banten dan doa = Akasha

Pisang menjadi elemen prthivi yang matang dan stabil. Ia mengandung air, padat, dan hidup, menyatukan semua elemen ke dalam bentuk yang nyata.

7.         Jika Tidak Ada Pisang, Apa yang Terjadi?

Banten memang masih bisa dihaturkan. Tapi seperti pakaian tanpa ikat pinggang, atau rumah tanpa tiang tengah, banten tanpa pisang ibarat, Kurang harmoni, Tidak ada penyeimbang energi, Kurang menarik perhatian vibrasi niskala. dalam banyak tradisi, umat sering menunda persembahan jika belum ada pisang. Hal ini bukan semata karena aturan, tapi karena keyakinan bahwa niat suci harus disertai simbol suci.

 

Relevansi dalam Kehidupan Modern,

Di zaman sekarang, kita sering kali tergoda pada bentuk banten yang "wah" buah import, hiasan emas, susunan tinggi. Namun tanpa niat tulus dan simbol yang benar, banten bisa kehilangan makna.

Pisang mengingatkan kita untuk:

1)         Menjadi sederhana tapi bernilai.

2)         Menjadi pengikat dalam keluarga dan masyarakat.

3)         Menjadi pemberi, bukan pencari pamrih.

4)         Pisang Adalah Cermin Diri Kita

Setiap kali kita menyiapkan banten, lalu meletakkan pisang di tengah, kita sedang mengingatkan diri sendiri:

Apakah kita sudah menjadi pribadi yang menyatukan?

Apakah kita hadir dalam keluarga, masyarakat, dan yadnya sebagai sumber keseimbangan?

Atau justru kita menjadi buah-buahan lain yang hanya ingin dilihat cantik di luar?

Maka, pisang dalam banten adalah cermin batin: sederhana, diam, namun menopang semuanya.

Oleh : Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd.

           Kordinator Penyuluh Agama Hindu

           Kecamatan Kubutambahan



0Komentar

sn
sn
Special Ads