SINGARAJA FM,-KULINER
khas Bali warisan tetua Bali menyimpan spirit
dan “taksu” yang sangat luar biasa sebagai hasil kreativitas seni tradisi
memasak (Bahasa Bali : Paebatan) yang diwariskan secara turun-temurun oleh
tetua Bali. Kuliner khas Bali, baik makanan (reracikan, ramuan, olahan) dan
minuman, jamu (Bahasa Bali : loloh)
merupakan tradisi yang hinggga kini masih lestari. Bahkan di sejumlah lokasi di
Bali malah semakin dikembangkan sebagai
salah satu bentuk atraksi wisata kuliner yang semakin diminati wisatawan, baik
wisatawan asing maupun domestik. Kuliner khas Bali dikenal sebagai seni tradisi
Maebat yang lengkap (Bahasa Bali : sregep)
dan mantap, top (Bahasa Bali : nyantep)
adalah icon Bali yang ingin ditonjolkan dalam pelestarian dan spirit bumbu kuliner
khas Bali. Apa itu bumbu Bali atau yang
dikenal dengan sebutan basa genep?
Pustaka
Lontar Dharma Caruban menjadi acuan
bagi leluhur orang Bali tatkala menekuni ilmu tata hidangan atau seni memasak
khas Bali. Di dalam lontar itu disebutkan
tiga bahan pokok sebagai ikon utama bumbu Bali lengkap (basa genep) atau yang juga disebut basa wayah (tua, lengkap). Pertama adalah kencur (Bahasa Bali : Cekuh), simbol Sang Sahadewa merupakan
simbol Nyasa (Bahasa Indonesia: Tapa)
sebagai bentuk proses Sregep dengan
sistem pengendalian diri. Kedua, lengkuas (Bahasa Bali : Isen) yang merupakan simbol Sang Bima. Dalam Epos Mahabharata, Bima
adalah simbol kekuatan dan keperkasaan. Bentuk fisik lengkuas yang keras dan
aromanya yang khas memberi spirit pentingnya sebuah penguatan sraddha dan
bhakti kita kepada Sang Pencipta dengan membentuk jiwa yang kokoh, tangguh dan
kuat dalam memaknai simbol-simbol agama dalam kualifikasi makanan. Ketiga,
kunir (Bahasa Bali : kunyit) sebagai
simbol Arjuna, lambang kecerdasan. Tiga
bahan utama dalam bumbu (base genep) ini
mampu menghasilkan aroma dan rasa yang mantap dan isyarat atep sehingga mencerminkan kualifikasi idep yang mantap (nyantep). Ini
adalah implementasi filosofi Hindu (tattwa) agar menjadi sregep dalam pemahaman esensi
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu : Tattwa,
Susila, Acara.
Pustaka
Suci Atharvaveda VI.135.1 secara harfiah menganjurkan, hendaknya kami menyantap
makananku dengan hati-hati, agar makanan itu memberikan kekuatan dan kesehatan
tubuh, fisik dan mental. Umat Hindu
disarankan agar selalu berhati- hati memilih bahan makanan agar terhindar dari
kejatuhan, kemerosotan (Bahasa Bali : nyungsep). Pemilihan makanan yang sattwik menghindarkan kita dari
kemerosotan moral dengan kualifikasi sifat rajasik
(penuh nafsu) dan tamasik (kemalasan).
Oleh
karena itu, generasi muda sangat perlu mengenal lebih jauh warisan leluhur
Nusantara, khususnya kuliner khas Bali. Salah satu warisan kuliner Bali adalah bumbu
Bali basa genep. Basa genep dikenal memiliki citra rasa yang khas dan mulai
sangat diminati. Pengenalan basa genep sebagai warisan tetua Bali
bisa dikaitkan dengan proses pembelajaran filsafat Hindu. Poin penting yang
dapat dipetik bahwa belajar agama (Hindu) bukan hanya duduk hening sembahyang
dan berupacara. Misi yang tidak kalah penting adalah memahami dan melaksanakan nilai-nilai sistem kekerabatan, esensi
persaudaraan (menyama braya), adab,
tradisi dan budaya menghargai keragaman sebagai simbol kebhinekaan. Belajar agama (Hindu) bukan hanya tentang
Tuhan, tetapi juga belajar seni tersendiri dalam filosofi mengelola idep, lalu siap bersinergi dan berkolaborasi
agar sregep atau bersatu dalam
keberagaman agar selalu atep sehingga
kehidupan berjalan dengan selaras dan nyantep,
terhindar dari bahaya nyungsep.
Lontar Dharma Caruban memberi
spirit bahwa dengan kecerdasan, lalu timbullah kekuatan yang mampu membimbing manusia menjadi makhluk
yang memiliki kualifikasi Daiwi Sampad
(sifat dewata) sebagai kebalikan dari sifat Asuri
Sampad (sifat keraksaan). Sifat
Kedewataan akan semakin bersinar, menebar kasih sayang, kedamaian kenyamanan
serta mampu memberi transformasi positif
bagi lingkungan dan semua ciptaan Tuhan.
0Komentar