TUO6BUOpGUd9BUYpGSroBSGiGY==
Light Dark
Buda Kliwon Pahang, Bukan Hanya Melepas Penjor, Tapi Juga Melepaskan Ego

Buda Kliwon Pahang, Bukan Hanya Melepas Penjor, Tapi Juga Melepaskan Ego

Daftar Isi
×

SINGARAJA FM,-Di Bali, saat penjor berdiri megah di ujung-ujung jalan di depan rumah warga, kita tahu bahwa Galungan telah datang. Saat dupa menyala pada bangunan suci, sanggah dan bale, kita tahu bahwa Kuningan telah dilewati. Tapi bagaimana dengan Buda Kliwon Pahang? Hari saat penjor dicabut, janur dilipat, dan jalan kembali lengang.

Apakah Buda Kliwon Pahang hanyalah hari "beres-beres" pasca hari raya? Jawabnnya Tidak, tidak sesederhana itu. Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:

“Ping kalih dasa dasa ping gangsal, Buda Kliwon Pahang, ika makadi sang Tumpek kalih, ya ta tan hana yajña. Ring dina ika, tan wenang ngaturang banten, denya tan hana ditya nerima. Ika mahananing pamuput ring rerahinan Galungan.”

Artinya : Hari ke tiga puluh lima, yaitu Buda Kliwon Pahang, itu disamakan seperti dua kali Tumpek, maka pada hari itu tidak ada yajña (upacara persembahan). Pada hari itu tidak diperkenankan menghaturkan banten, karena tidak ada bhuta yang menerima. Hari itu adalah penutup dari rangkaian hari Galungan.

Hari ini disebut tan hana yajña, tidak ada persembahan. Karena semua butha kala sudah kembali ke tempat asalnya. Tidak ada yang menerima upacara, karena segala hal lahiriah telah dituntaskan. Justru karena itu, hari ini menjadi ruang hening merefleksi diri. Bukan untuk sibuk pada aktivitas ritual, tapi untuk diam sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

Apa yang sudah saya pelajari dari Galungan dan Kuningan?

Apa Dharma yang saya bawa pulang setelah semua sesajen dan upacara usai?

Fenomena saat ini yang terjadi pada masyarakat kita Penjor Dicabut, Tapi Makna Ditinggal. Di banyak tempat, penjor dicabut cepat-cepat. Kadang bahkan malam sebelum Buda Kliwon. Asal rapi. Asal bersih. Tapi tak sempat tangan disatukan memohon izin. Bahkan lebih parah, sebagian anak muda tidak tahu kenapa penjor harus dicabut. Yang penting "sudah lewat Galungan." Lalu kita perlahan tenggelam dalam tradisi tanpa makna. Seolah-olah simbol lebih penting dari rasa. Masalahnya Bukan Pada Penjor, Tapi Pada Kita, Tradisi tidak salah. Tapi cara kita memperlakukan tradisi itu yang perlu dikoreksi.

Penjor bukan sekadar tiang bambu yang dihias janur. Ia adalah simbol gunung suci, simbol makmuran, kesejahteraan, lambang hubungan manusia dengan alam dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Mencabutnya tanpa rasa sama halnya seperti menutup kitab suci tanpa sempat membaca isinya.

Hendaknya kita sadar bahwa kita perlu Ajegkan Rasa, Bukan Sekadar Rupa, doakan Penjor Sebelum Dicabut. Ajak keluarga berkumpul sebentar. Ucapkan terima kasih kepada alam dan leluhur. Heningkan cipta. Baru kemudian penjor dilipat, dengan rasa hormat. ajarkan Makna kepada Anak cucu kita, tidak harus panjang. Cukup dengan cerita kecil. Katakan bahwa mencabut penjor adalah tanda kita kembali ke kehidupan biasa, tapi dengan semangat yang baru. Berikan pemahaman Bahwa Buda Kliwon Pahang adalah momen refleksi, bukan sekadar “bongkar penjor.” Karena sesungguhnya ada makna yang terkandung jauh lebih dalam Ketika melepas penjor sama halnya kita diingatkan untuk melepas ke Ego’an kita.

Jika Galungan adalah kemenangan Dharma, maka Buda Kliwon Pahang adalah waktu menjaga kemenangan itu dalam hidup nyata. Saat upacara usai dan penjor telah tiada, yang tersisa adalah kita dengan pilihan apakah akan tetap hidup dalam Dharma, atau kembali ke pola lama? Karena sejatinya, penjor itu tidak hanya berdiri di depan rumah, penjor juga hendaknya berdiri di hati setiap kita tertanam pada setiap jiwa.

 

Penulis : I Gede Widiantara, S.Sos

Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng.

 


 

0Komentar

sn
sn
Special Ads