SINGARAJA FM,-Di Bali, saat penjor berdiri megah di ujung-ujung jalan di depan rumah warga, kita tahu bahwa Galungan telah datang. Saat dupa menyala pada bangunan suci, sanggah dan bale, kita tahu bahwa Kuningan telah dilewati. Tapi bagaimana dengan Buda Kliwon Pahang? Hari saat penjor dicabut, janur dilipat, dan jalan kembali lengang.
Apakah Buda Kliwon
Pahang hanyalah hari "beres-beres" pasca hari raya? Jawabnnya Tidak,
tidak sesederhana itu. Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
“Ping kalih dasa dasa
ping gangsal, Buda Kliwon Pahang, ika makadi sang Tumpek kalih, ya ta tan hana
yajña. Ring dina ika, tan wenang ngaturang banten, denya tan hana ditya nerima.
Ika mahananing pamuput ring rerahinan Galungan.”
Artinya : Hari ke tiga
puluh lima, yaitu Buda Kliwon Pahang, itu disamakan seperti dua kali Tumpek,
maka pada hari itu tidak ada yajña (upacara persembahan). Pada hari itu tidak
diperkenankan menghaturkan banten, karena tidak ada bhuta yang menerima. Hari
itu adalah penutup dari rangkaian hari Galungan.
Hari ini disebut tan
hana yajña, tidak ada persembahan. Karena semua butha kala sudah kembali ke
tempat asalnya. Tidak ada yang menerima upacara, karena segala hal lahiriah
telah dituntaskan. Justru karena itu, hari ini menjadi ruang hening merefleksi
diri. Bukan untuk sibuk pada aktivitas ritual, tapi untuk diam sejenak dan
bertanya pada diri sendiri:
Apa yang sudah saya
pelajari dari Galungan dan Kuningan?
Apa Dharma yang saya
bawa pulang setelah semua sesajen dan upacara usai?
Fenomena saat ini yang
terjadi pada masyarakat kita Penjor Dicabut, Tapi Makna Ditinggal. Di banyak
tempat, penjor dicabut cepat-cepat. Kadang bahkan malam sebelum Buda Kliwon.
Asal rapi. Asal bersih. Tapi tak sempat tangan disatukan memohon izin. Bahkan
lebih parah, sebagian anak muda tidak tahu kenapa penjor harus dicabut. Yang
penting "sudah lewat Galungan." Lalu kita perlahan tenggelam dalam
tradisi tanpa makna. Seolah-olah simbol lebih penting dari rasa. Masalahnya
Bukan Pada Penjor, Tapi Pada Kita, Tradisi tidak salah. Tapi cara kita
memperlakukan tradisi itu yang perlu dikoreksi.
Penjor bukan sekadar
tiang bambu yang dihias janur. Ia adalah simbol gunung suci, simbol makmuran,
kesejahteraan, lambang hubungan manusia dengan alam dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Mencabutnya tanpa rasa sama halnya seperti menutup kitab suci tanpa
sempat membaca isinya.
Hendaknya kita sadar
bahwa kita perlu Ajegkan Rasa, Bukan Sekadar Rupa, doakan Penjor Sebelum
Dicabut. Ajak keluarga berkumpul sebentar. Ucapkan terima kasih kepada alam dan
leluhur. Heningkan cipta. Baru kemudian penjor dilipat, dengan rasa hormat.
ajarkan Makna kepada Anak cucu kita, tidak harus panjang. Cukup dengan cerita
kecil. Katakan bahwa mencabut penjor adalah tanda kita kembali ke kehidupan
biasa, tapi dengan semangat yang baru. Berikan pemahaman Bahwa Buda Kliwon
Pahang adalah momen refleksi, bukan sekadar “bongkar penjor.” Karena
sesungguhnya ada makna yang terkandung jauh lebih dalam Ketika melepas penjor
sama halnya kita diingatkan untuk melepas ke Ego’an kita.
Jika Galungan adalah
kemenangan Dharma, maka Buda Kliwon Pahang adalah waktu menjaga kemenangan itu
dalam hidup nyata. Saat upacara usai dan penjor telah tiada, yang tersisa
adalah kita dengan pilihan apakah akan tetap hidup dalam Dharma, atau kembali
ke pola lama? Karena sejatinya, penjor itu tidak hanya berdiri di depan rumah,
penjor juga hendaknya berdiri di hati setiap kita tertanam pada setiap jiwa.
Penulis : I Gede
Widiantara, S.Sos
Penyuluh Agama Hindu
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng.
0Komentar