TUO6BUOpGUd9BUYpGSroBSGiGY==
Light Dark
Tumpek Landep,Dari Ketajaman Besi, Menuju Ketajaman Hati, Hingga Ketajaman Bhakti.

Tumpek Landep,Dari Ketajaman Besi, Menuju Ketajaman Hati, Hingga Ketajaman Bhakti.

Daftar Isi
×

SINGARAJA FM,- Hari Suci Tumpek Landep dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Nusantara setiap 6 bulan sekali( 210 hari), umat Hindu sangat akrab dengan perayaan Tumpek Landep. Setiap enam bulan sekali, sepeda motor, mobil, traktor, bahkan komputer, dihias dengan janur, bunga, dan dihaturkan banten. Tidak sedikit yang mengunakan media sosial untuk Evoria ini, yang menuai kotroversial.Konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang menjadi acuan dalam setiap kegiatan keagamaan,mulai sedikit bergeser dengan teknik pemahaman yang berbeda, yang akhirnya terkadang umat kurang tepat dalam mengambil sebuah tatanan upacara karena berlindung pada stigma pembenaran, bukan kebenaran yang sebenarnya.

Tetapi mari kita bertanya: apakah Tumpek Landep hanya tentang menghias besi, atau ada makna lebih tajam yang bisa menuntun kita?

Leluhur Nusantara memberi sebuah pedoman dalam sebuah perilaku keagamaan yang dituntun dalam kajian lontar, salah satu sastra tertulis yang menyimpan seribu makna yang selalu menuntun setiap umat untuk eling pada kebesaran Sang Pencipta.Lontar Sundarigama adalah salah satu sastra tersebut, tersirat dalam lontar Sundarigama,

Kunang ring wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Siwa, mwah yoganira

Sanghyang Pacupati, puja wali Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adan-adanan, iwak sata

sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar. Yoga Sanghyang Sri

Pasupati, sesastra jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang

wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning prang. Kalingania ring wwang,

denia pacupati, landeping idep, samangkana talaksanakna kang japamantra wisesa

Pacupati"

Terjemahan dan artinya,

Pada hari Wuku Landep, Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) adalah hari pemujaan Bhatara

Siwa dan hari yoganya Sang Hyang Pasupati. Adapun sarana untuk pemujaan Bhatara Siwa

adalah tumpeng putih selengkapnya, lauknya ayam sebulu-bulu, grih trasibang (ikan asin

dan terasi merah), sedali woh, dihaturkan di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan).

Sementara itu, untuk pemujaan Sang Hyang Pasupati dihaturkan, sesayut jayeng prang,

sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi. Babantenan ini ditujukan

(di-ayab-kan) kepada semua jenis senjata sehingga bertuah dalam perang. Adapun

hakikatnya dalam diri manusia, ialah tajamnya pikiran (idep), untuk itu laksanakanlah japa

mantra untuk mendapatkan anugerah.

Secara esensi sudah jelas tersirat di dalam Lontar Sundarigama tersebut bahwasanya hari

suci Tumpek Landep ialah momentum untuk memuja Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai

Sang Hyang Pasupati di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan). Pasupati dalam konsep teologi

Hindu merupakan manifestasi dari Siwa sebagai raja daripada binatang. “Pasu” artinya “ Binatang”,

dan “ Pati” artinya “Raja”. Namun, di sisi lain Pasupati juga didefinisikan sebagai suatu upacara yang

bertujuan untuk memberikan tuah atau kekuatan.Kekuatan yang hakiki pada hakekatnya adalah kekuatan pikiran, itulah sebabnya mengapa pikiran sangat perlu dipasupati karena dari pikiranlah tubuh akan menciptakan stimulus, perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan alur berpikir, karena itu secara simbolik terciptanya energi positif apabila kita mampu mengakses energi tersebut dalam pengendalian pikiran.Saat ini Bali sedang terguncang, pikiran umat mulai terstigma karena notabene umat sudah melakukan Yadnya tetapi mengapa musibah mengujinya, timbul gejolak yang mulai kecewa dan putus asa.

Hari ini, ketika banjir menenggelamkan sawah, sampah plastik menutup sungai, dan perubahan iklim membuat musim tidak menentu, kita dituntut untuk menghidupkan makna sejati Tumpek Landep,  menajamkan pikiran dan hati agar bhakti diwujudkan dalam menjaga alam semesta.

 Kisah Leluhur, Ketajaman Senjata, Ketajaman Jiwa sebagai gambaran betapa indahnya kehidupan di masa lalu.Konon, dalam masa kerajaan-kerajaan Bali kuno, Tumpek Landep digunakan untuk memuliakan keris, tombak, dan pedang senjata utama para ksatria, tetapi yang sesungguhnya dipuja bukanlah besinya, melainkan kekuatan dharma yang terkandung di baliknya.

Seorang ksatria sejati tidak hanya mahir menebas musuh, tetapi juga tajam dalam pikiran, mampu membedakan mana dharma dan adharma. Itulah mengapa keris diperlakukan dengan hormat, bukan sekadar benda, melainkan simbol pikiran yang tajam.

Hari ini, senjata kita bukan lagi keris atau tombak. Senjata kita adalah handphone, laptop, dan jaringan internet. Dengan satu klik, kita bisa menyebarkan kebaikan, tetapi juga kebencian, dengan satu postingan, kita bisa menginspirasi, atau justru melukai.

Maka pertanyaannya: apakah kita menajamkan “keris digital” itu untuk kebaikan, atau membiarkannya menusuk diri sendiri dan orang lain?Ketika manusia mulai menumbuhkan kesadaran untuk eling, maka setiap umat akan mengingat bahwa kelahiran kita adalah proses membayar hutang karma yang disebut Tri Ṛṇa.Para śāstrawan Hindu mengingatkan bahwa setiap manusia lahir membawa Tri Ṛṇa, hutang kepada Tuhan (Dewa Ṛṇa), hutang kepada Ṛṣi/guru (Ṛṣi Ṛṇa), dan hutang kepada leluhur (Pitṛ Ṛṇa).

Jika dikaitkan dengan bencana hari ini, Tri Ṛṇa bisa dipahami dalam sebuah alur kehidupan,

1. Dewa Ṛṇa: menjaga alam ciptaan Tuhan adalah bentuk bhakti. Saat kita merusak alam, berarti kita mengkhianati hutang kepada Tuhan.

 

2. Ṛṣi Ṛṇa: guru mengajarkan keseimbangan hidup, tetapi sering kita abaikan. Ilmu digunakan untuk membangun gedung, tetapi melupakan drainase. Tajam di beton, tumpul di logika ekologis.

 

3. Pitṛ Ṛṇa: leluhur mewariskan Bali yang hijau, sawah yang luas, dan laut yang bersih. Apakah kita tega mewariskan kepada anak cucu Bali yang penuh sampah dan udara beracun?

 

Pesan alam yang dengan kata lain, bencana alam adalah tagihan hutang yang ditagih oleh Dewa, Ṛṣi, dan Pitṛ.

Kehidupan tentunya mengajarkan banyak hal, epos Mahabaratha adalah salah satu pengingat, apakah kita selaku umat sudah berada ditatanan yang benar dalam sebuah Yadnya atau pelayanan yang sederhana sekalipun.Panca Pandawa adalah pengetahuan   senjata batin di Era Digital.Para Pandawa dalam Mahābhārata adalah teladan ksatria dharma, tetapi jika kita baca lebih dalam, Panca Pandawa juga melambangkan lima kekuatan batin manusia.

Yudhiṣṭhira (Dharma), teguh di jalan kebenaran, meski semua orang tergoda jalan pintas.

Bhīma (Kekuatan), berani menghadapi ketidakadilan ekologis misalnya berani menolak penebangan liar.

Arjuna (Konsentrasi), fokus seperti saat membidik mata burung, fokus mencari solusi atas masalah banjir dan sampah.

Nakula (Keindahan), menjaga estetika alam, karena bunga, hutan, dan sungai adalah “pura terbuka” bagi umat manusia.

Sahadeva (Kebijaksanaan),pandai membaca tanda-tanda zaman, menggunakan ilmu pengetahuan untuk menata lingkungan.

Pandawa ini adalah senjata batin. Jika kita tidak mengasahnya, maka kita hanya pandai menyucikan besi kendaraan, tetapi tumpul dalam menjaga bumi.

Ketajaman Besi yang kita maknai sebagai Landeping ring Idep adalah bentuk aktualisasi menajaman pikiran.

Mari kita gunakan analogi modern.Ketajaman besi, kendaraan yang dirawat baik, tajam mesinnya, tapi kalau jalanan macet oleh sampah, kendaraan itu tidak bisa jalan.

Ketajaman pikiran, kita bisa menemukan solusi, misalnya bank sampah, energi alternatif, atau gotong-royong membersihkan sungai.

Ketajaman hati, kita tidak menyalahkan alam, tetapi mengubah perilaku diri sendiri dengan eling pada apa yang sudah kita sumbangkan pada alam.

Ketajaman bhakti, bukan hanya sembahyang di pura, tetapi lebih ke penerapan Ekoteologi salah satunya menanam pohon, mengurangi plastik, dan melaksanakan yadnya yang nyata yang sederhana dengan peduli pada sampah dan upaya untuk memandang sampah itu sebagai suatu hal yang berguna bagi ekosistem alam jika kita mampu dengan bijak mengolahnya.

Sabda suci Tuhan dalam Bhagavad Gītā III.14,

annād bhavānti bhūtāni

parjanyād anna-sambhavaḥ

yajñād bhavati parjanyo

yajñaḥ karma-samudbhavaḥ.

Artinya,

“Dari makanan semua makhluk hidup, dari hujan datang makanan, dari yadnya datang hujan.”

Jika hujan hari ini membawa banjir, bukan kesuburan, itu tanda yadnya kita kepada alam kurang tulus.

 Spirit Tumpek Landep di tengah bencana adalah sebuah penanaman karakter untuk menumbuhkan kesadaran setiap umat dalam bhakti yang utama meskipun sangat sederhana tetapi penuh makna.

Banjir, apakah benar hanya karena hujan deras, atau karena sungai dipenuhi sampah?

Kekeringan, apakah benar karena cuaca semata, atau karena hutan sudah gundul?

Polusi,  apakah benar hanya karena pabrik, atau karena kita sendiri menyalakan motor meski jarak dekat bisa ditempuh dengan jalan kaki?

Tumpek Landep mengingatkan, pikiran yang tajam harus dipakai untuk menjaga alam.

Kitab suci Atharvaveda XII.1.12 ditegaskan:

Mata Bhumih Putro A'ham Prativiyah.

“Bumi adalah ibuku, aku adalah anak bumi.”

Kalau bumi adalah ibu, maka bencana adalah jeritan seorang ibu yang sakit. Apakah anak yang baik tega membiarkan ibunya menjerit?

 Kisah Nyata, motor suci, sungai kotor. Suatu ketika, di sebuah desa di Bali, seorang pemuda rajin menghias motornya setiap Tumpek Landep. Motor itu bersih, wangi, penuh janur dan bunga. Tetapi sore harinya, pemuda itu membuang plastik bekas banten ke sungai.Motor suci, tetapi sungai kotor dengan ulah manusiasendiri.Pertanyaanya apakah benar ia sudah melaksanakan makna Tumpek Landep?

Tumpek Landep seharusnya tidak hanya membuat motor bersih, tetapi juga membuat sungai bersih, tidak hanya menghias kendaraan, tetapi juga menghias alam. Green Dharma: Aksi Nyata Menjaga Bumi.

Ketajaman bhakti harus diwujudkan dalam Green Dharma, antara lain,

Mengurangi sampah plastik sekali pakai.

Menanam pohon setelah upacara.Membuat program Tumpek Landep hijau umat tidak hanya menghias kendaraan, tetapi juga melakukan bersih-bersih desa.

Mengajarkan anak-anak bahwa “banten terbaik untuk Tuhan adalah bumi yang lestari.”Inilah wujud nyata bhakti ekologis.

 Doa di Tengah Bencana

Ketika banjir, kekeringan datang, doa kita kepada Tuhan bukan sekadar memohon keselamatan, tetapi juga memohon kekuatan untuk berubah.

Seperti ajaran Bhagavad Gītā II.47:

karmaṇy-evādhikāras te mā phaleṣhu kadāchana

mā karma-phala-hetur bhūr mā te saṅgo 'stvakarmaṇi

“Engkau berhak atas kewajibanmu, tetapi jangan mengikatkan diri pada hasilnya.”

Artinya: jangan berhenti berbuat baik hanya karena hasil belum terlihat. Mungkin satu pohon yang kita tanam kecil pengaruhnya, tetapi seribu orang menanam pohon bisa menyelamatkan bumi.

Pesan spiritual untuk semua pihak,

Umat sedharma yang mulia,Tumpek Landep bukan hanya hari menghias kendaraan, tetapi juga hari mengasah pikiran, dari leluhur, kita belajar keberanian menjaga dharma,dari Tri Ṛṇa, kita belajar kewajiban menjaga Tuhan, guru, dan leluhur, dari Pandawa, kita belajar bahwa ketajaman sejati ada di dalam diri,

ditengah bencana, Tumpek Landep mengingatkan,tajamkan pikiran untuk mencari solusi, bukan alasan.

Tajamkan hati untuk menyayangi alam, bukan mengeksploitasinya.

Tajamkan bhakti untuk menjaga bumi, bukan hanya menghias besi.

Mari kita jadikan Tumpek Landep bukan sekadar ritual, melainkan gerakan spiritual dan ekologis, dari besi kita belajar ketajaman alat, dari hati kita belajar kejernihan jiwa, dan dari bhakti kita menemukan jalan menuju Mokṣa.

Pesan Spiritual sebagai alarm untuk menapak jalan kehidupan,

“Ketajaman besi hanya berguna sesaat, tetapi ketajaman pikiran akan menyelamatkan bumi sepanjang masa.”

 “Menajamkan pikiran adalah yajña, menjaga alam adalah bhakti, dan mengasihi sesama adalah dharma.”

“Bumi tidak menagih hutang dengan kata-kata, tetapi dengan banjir, longsor, dan bencana.”

“Tumpek Landep bukan sekadar menyucikan senjata, melainkan mengasah hati agar tajam membela kehidupan.”

. “Pikiran yang tajam melahirkan teknologi, hati yang tajam melahirkan welas asih, bhakti yang tajam melahirkan keseimbangan.

 “Berhutang pada Dewa berarti menjaga alam ciptaan-Nya; berhutang pada Ṛṣi berarti menjaga ilmu; berhutang pada Pitṛ berarti menjaga warisan bumi untuk anak cucu.”

. “Tri Ṛṇa bukan hanya kewajiban, tetapi pengingat bahwa hidup adalah titipan yang harus dikembalikan dengan suci.”

. “Membayar hutang pada leluhur bukan dengan air mata, tetapi dengan bumi yang lestari bagi keturunannya.”

 

Luh Irma Susanthi, S.Sos.,M.Pd.

Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan.




0Komentar

sn
sn
Special Ads