SINGARAJA FM,-Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng meminta sekolah menengah pertama (SMP) di daerah itu menyediakan jam khusus untuk siswa yang belum bisa membaca dengan lancar. Tercatat, ada ratusan siswa dari 60 SMP di Kabupaten Buleleng yang belum bisa membaca.Hal itu diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Buleleng Ariadi Pribadi seusai mengikuti rapat bersama Komisi IV DPRD Buleleng. Ariadi merinci data yang diterima dari kepala SMP se-Buleleng menunjukkan sebanyak 363 siswa dinyatakan belum bisa membaca."Sebanyak 297 siswa belum bisa membaca, sisanya mengeja," kata Ariadi, Senin (14/4/2025).
Ariadi segera
berkoordinasi dengan kepala sekolah agar menyiapkan jam khusus belajar membaca
bagi ratusan siswa tersebut. Adapun, siswa yang belum mahir membaca akan
diberikan materi tambahan seperti pengenalan huruf.
"Kami coba
evaluasi tiga sampai enam bulan ke depan. Sehingga dari 363 siswa itu, ada yang
bisa membaca dan sembari kami melakukan beberapa sentuhan untuk memancing
kemampuan para siswa imbuhnya.
Ariadi menjabarkan
beberapa penyebab banyaknya siswa SMP di Buleleng belum bisa membaca. Mulai dari
faktor metode pembelajaran dalam jaringan (daring) saat pandemi COVID-19,
disleksia, disabilitas, motivasi belajar anak yang rendah, hingga faktor
dukungan orang tua.
"Penyebabnya lebih
banyak karena semangat motivasi belajar anak yang rendah, termasuk dukungan
orang tua sehingga tidak mendapat pendampingan maksimal. Kalau dari disleksia
atau difabel ada, tapi persentasenya kecil," pungkasnya
Sebagai informasi
Sebelumnya, data ratusan siswa SMP belum bisa membaca dengan lancar itu
diungkapkan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng I Made Sedana.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP
Buleleng, terdapat sekitar 400-an siswa SMP yang masih kesulitan membaca.
Sedana menjelaskan
faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis
atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa. Ia
menyebut pemahaman yang keliru terhadap konsep pembelajaran tuntas menyebabkan
siswa tetap naik kelas, meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti
membaca.Hal ini, Sedana berujar, justru menyebabkan beban pendidikan dasar
berpindah ke jenjang SMP. Menurut dia, pendidikan dasar itu harusnya sudah
tuntas di jenjang SD.
0Komentar