SINGARAJA FM,-Di tengah pergeseran nilai dan riuhnya zaman digital, Singaraja memilih untuk kembali mendengar suara-suaralama. Suara yang tidak lantang, tapi dalam. Suara yang selama ini tersimpandalam lembaran daun lontar, di rak-rak sunyi Gedong Kirtya. Dan lewat Singaraja Literary Festival (SLF) 2025, suara-suara itu dihidupkan, diterjemahkan, dan dirayakan dalam kemungkinan-kemungkinan baru yang penuh warna.
Tahun ini, SLF memasuki
pelaksanaan ketiganya. Festival ini menjadi momen penting dalam lanskap
kesusastraan regional, nasional, bahkan internasional, karena menjembatani
pengetahuan lama, pengetahuan kini dan masa depan, dengan praktik kesenian
kontemporer. Tahun ini SLF mengusung tema “BudaKecapi” yang bermakna energi
penyembuhan semesta. Tema ini menjadi kontekstualkarena sastra memiliki
kekuatan penyembuhan yang mendalam. Festival ini hendakmembunyikan kembali
harmoni antara sastra, kemanusiaan, dan penyembuhan—bukan hanya untuk pribadi,
tapi juga bangsa.
“Tema Buda Kecapi kami
pilih karena relevansinya dengankondisi sosial kita hari ini. Ada luka, ada krisis
identitas, ada kehilangan akar. Dan sastra, khususnya yang bersumber dari
warisan lokal seperti lontar,bisa menjadi penawar,” ujar Direktur SLF sekaligus
pendiri festival ini, Kadek Sonia Piscayanti, Selasa, (22/07/2025)
Sonia menjelaskan, Buda
Kecapi adalah salah satu naskah kuno yang tersimpan di Gedong Kirtya. Dalam
teks itu, tersimpan gagasan tentang kehidupan yang seimbang, relasi harmonis
antara manusia dan semesta, serta nilai-nilai penyembuhan melalui seni dan
kebijaksanaan lokal. Inilah yang menjadi pijakan utama SLF 2025 untuk menggali
naskah, menafsir ulang, dan mengalihwahanakan dalam bentuk baru.
“Kami merancang festival ini sebagai proses
alih wahana dari teks lontar menjadi pertunjukan, karya sastra modern, bahkan
film. Jadi kami tidak sekadar mengarsipkan masa lalu, tapi menghidupkannya
dalam bentuk yang relevan dan bisa diterima generasi hari ini,” tambahnya
0Komentar