SINGARAJA FM,-Pura adalah nama tempat suci bagi umat Hindu yang memiliki sebuah nilai spirit dan taksu yang sangat luar biasa. Segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai kesucian Pura diatur dalam Pustaka Suci Lontar Krama Pura. Lontar adalah salah satu bentuk Weda Smerti yang menjadi acuan dalam setiap kegiatan keagamaan di Bali. Kesucian Pura adalah hal yang sangat penting untuk dijaga dalam pemahaman sebuah konsep Trimurti yaitu aplikasi dari proses pembangunan Pura, pemeliharaan Pura dan Peleburan segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai kesucian sebuah tempat suci ketika memasuki areal tempat suci. Proses pembangunan Pura pasti didominasi dan melibatkan unsur Pawongan dalam sistem kekerabatan yang dalam prosesnya sebaiknya tetap menghormati ekosistem alam dalam wujud pelemahan sesuai dengan wacana Pergub Bali no 97 Tahun 2018, tentang lokarya pelestarian lingkungan hidup dalam meminimalizir timbunan sampah plastik, sehingga keseimbangan dari unsur Tri Hita Karana terutama konteks Parahyangan sebagai hubungan manusia dengan Sang Pencipta akan menemukan titik yang memenuhi standar nilai kebenaran yang selalu berpegang teguh pada ajaran Dharma. Sebuah konsep Ngayah jika dipandang dari petikan Pustaka suci Kitab Sarasamuscaya sloka 79 mengajarkan, bahwa kesucian pikiran akan selalu diikuti oleh tindakan atau perbuatan yang tepat yang disebut ngayah( tindakan) dengan mengedepankan nilai nilai kebenaran. Pustaka Suci Sarasamuscaya 79:
"Kunang Sang Ksepaya
manah, nimittaning niscayajnana, dadi pawang niscaya jnana, lumekas tan ujar,
lumekas tang maprawirthi matangnyan manah ngaranika pradhanan mangkana. Pustaka
Suci Sarasamuscaya sloka 79 memberi
makna pentingnya hakikatnya pemaknaan ngayah,layah ,payah dimiliki oleh setiap individu dalam konteks
pemeliharaan tempat suci bukan hanya memelihara secara fisik tapi juga mampu
memelihara cara spirit dengan tetap mengedepankan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pustaka suci tersebut. Salah satu contoh, segala kegiatan dalam
pemeliharaan Pura adalah dengan bagaimana kita mengaplikasikan ajaran Tri Kaya
Parisudha ketika kita memasuki areal tempat suci. Konsep Ngayah,Layah , Payah dalam buku Titib (1996.350) dijelaskan
hakikat Ngayah, Layah ,Payah adalah sebuah latihan Sadhana Bakti untuk kita
selalu ikhlas dan lascarya dalam menjalankan segala proses pemeliharaan Pura,
merawat Pura adalah sama dengan kita merawat Sang Pencipta dan seluruh
ciptaannya sebagai bentuk pertanggungjawaban kita kepada Sang Pencipta atas
semua kuasa kehidupan yang kita miliki.
Pustaka Suci Bhagawad Gita II.4 memberi makna sebuah esensi bagaimana kita mengkondisikan
tubuh fisik kita atau yang disebut dengan Stula Sarira sebagai latihan pengendalian diri sebelum
masuk ke areal tempat suci agar umat mampu untuk mengkondisikan sikap dan
perilakunya secara spiritual dan religius sehingga ketika umat dalam kondisi
yang Layah dan Payah dalam menjaga eksistensi sebuah tempat suci jika itu
didasarkan oleh semangat kesadaran, umat tidak akan pernah mengeluh karena
nilai kesadaran sudah tertanam bahwa tempat suci adalah istana terindah dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa maka tentunya kondisi Layah dan Payah adalah bentuk
pengakuan kita bahwa rasa syukur kita tidak ternilai jika dipandang dari semua
berkah yang Tuhan berikan kepada kehidupan manusia konsep ngayah, Layah dan payah adalah sebuah bentuk
bagaimana kita meningkatkan cahaya kesadaran diri sehingga kita tidak Lengah
dalam menjaga dan memelihara Pura sebagai tempat istananya Tuhan dalam proses
memberikan berkat kepada setiap kehidupan yang ada di muka bumi, jika setiap generasi muda selalu eling,
selalu ingat dengan indahnya sebuah
nilai kesucian atau disebut Sundaram maka dapat dipastikan setiap umat
mempunyai acuan untuk menjaga keberadaan tempat Sucinya, tidak lengah dalam
setiap kondisi yang membahayakan Puranya maka eksistensi pura akan semakin
terarah.Sudah saatnya setiap Pura memiliki
manajemen yang modern. Mesti ada SOP dalam tata Kelola Pura. Mulai dari
maintenance, security, prosesi upacara, manajemen keuangan, pembagian
tugas/personil yang harus in charge di Pura setiap hari dan sebagainya. Mesti
ada tata tertib, kewajiban dan larangan bagi setiap pemedek yang memasuki areal
Pura. Tatib ini dipasang di depan Pura dan mestinya dijaga oleh petugas yang
mendapatkan biaya operasional dari dana punia atau sesari yang masuk ke Pura.
Semua yang in charge mesti diberikan dana operasional sehinga mereka wajib
menjalankan tugasnya dengan baik. "Ngayah" di Pura bagi para patugas itu dibuat sistemnya. Misal
: 1/4 dari haknya dipuniakan di Pura. Sehingga para petugas tetap bisa
menghidupi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya dst. Berapa dana operasional
yang layak ? Ini mesti disesuaikan dengan kondisi keuangan milik Pura.
Kesejahteraan para Sulinggih dan Pemangku juga mesti diperhatikan karena beliau
sdh tidak lagi bekerja seperti kita. Manajemen Pura terdiri dari Prajuru
(Manggala) Pengempon, Penyarikan, Petajuh, Kasinoman, Pecalang, dst. Semua ini
mesti bekerja menjalankan kewajibannya dengan baik jujur transparan dan
akuntabel. Itu semua urusan Manajemen (tata Kelola). Bidang Parhyangan mesti
pula diisi oleh mereka yang paham urusan ke Widhi Tattwa. Beliau-beliau ini
khusus bertugas memimpin persembahyangan bagi setiap pemedek yang tangkil ke
Pura. Pada hari-hari biasa cukup ada Pemangku yang bertugas termasuk ngungkup
tirtha agar tirtha yang ditunas dan dipercikkan ke pemedek itu hygienis (airnya
bersih bebas kuman) tidak terdapat jentik nyamuk dan kuman-kuman. Tata tertib
persembahyangan juga mengatur kebersihan sesuai sembahyang. Semua bunga bekas sembahyang mesti dibawa pulang dengan
tas kresek. Dupa harus dipastikan sudah mati lalu dibawa pulang atau dibuang di
tempat yang telah disediakan. Bidang
Palemahan mesti menjaga keamanan wilayah Pura, mulai dari jaba sisi (Nista
Mandala), jaba tengah (madya Mandala) dan Uttama Mandala (jeroan). Petugas
mesti memastikan keamanan dan kenyamanan seluruh wilayah Pura. Prajuru mesti
memiliki planning tentang pemeliharaan/Maintenance; termasuk mencarikan sumber
dana untuk maintenance atau jika ada rencana pembangunan Palinggih yg baru. Ini
semua butuh kecerdasan, kesungguhan, kejujuran, transparansi dan
profesionalisme. Saat ini kita baru sebatas bicara Tri Hita Karana. Prakteknya
masih jauh panggang dari api.
(Penulis Adalah Koordinator
Penyuluhan Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali.Luh
Irma Susanthi S.Sos.,M.Pd).
0Komentar